Ciri-ciri Budaya Politik di Indonesia

Ciri-ciri Budaya Politik di Indonesia
Ilustrasi : stat.ks.kidsklik.com
Ciri-ciri Budaya Politik di Indonesia | Ada beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia. Keragaman pendapat ini dimungkinkan karena persoalan budaya politik itu dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Rusadi Kartaprawira dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia menyatakan adanya beberapa ciri dari budaya politik Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut.
  • Sifat ikatan primordial masih kuat yang dikenali melalui indikator yang berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan.
  • Budaya politik Indonesia bersifat parokial subjek di satu pihak dan partisipasi di lain pihak.
  • Ada subbudaya yang banyak dan beraneka ragam. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki budaya sendiri-sendiri.
  • Kecenderungan budaya politik Indonesia masih mengukuhi sifat paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikator, misalnya adalah perilaku menyenangkan atasan.
Affan Gaffar (1999) dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu sebagai berikut.

1. Hierarki yang tegas
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang sangat ketat. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.

2. Kecenderungan patronage
Kecenderungan patronage, adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan. Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron) dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang punggung bapak.

3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara. Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut.
  • Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik.
  • Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.
  • Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.
  • Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya lebih besar.
Selanjutnya, manakah sesungguhnya budaya politik Indonesia? Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen atas dasar suku, daerah, dan agama maka di Indonesia terdapat banyak subbudaya politik. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika sehingga semua bentuk subbudaya yang ada di Indonesia adalah budaya politik nasional.

Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik mengutamakan segi psikologis dari suatu sistem politik. Demokrasi Pancasila adalah suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan atau filsafat hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi Pancasila pada hakikatnya adalah sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana telah dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Budaya Politik Pancasila akan mengarahkan keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi seperti politik dan pandangan hidup pada umumnya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Adapun sistem politik Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 1 ayat (2) adalah sistem politik demokrasi, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Budaya politik yang sesuai, selaras, dan sebangun dengan sistem.

Sumber rujukan : Rini Setyani, Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.

0 Response to "Ciri-ciri Budaya Politik di Indonesia"

Posting Komentar